Process Engineering Section : Pembuatan Etanol Skala Industri
Etanol salah satu senyawa kimia yang multifungsi. Fungsi etanol terbentang dari sektor kesehatan dan obat-obatan, FMCG (Fast Moving Consumer Goods), hingga bahan bakar pada kendaraan. Saat ini etanol merupakan salah satu komoditas yang dicari-cari karena masa-masa pandemi. Etanol ini diklaim oleh WHO atau World Health Organization sebagai salah satu bahan desinfektan yang aman digunakan dan efektif membunuh SARS CoV-2 yang saat ini melanda dunia. Pada awal-awal pandemi lalu, hampir semua orang membeli dan menyediakan hand sanitizer yang berbasiskan etanol. Pembelian etanol tiba-tiba dibatasi karena membludaknya pembelian, dan juga agar harga bisa lebih stabil. Hal ini dikarenakan banyak pemain besar yang juga spekulator barang akan memanfaatkan momentum ini untuk meraup untung.
Etanol memiliki rumus empiris yaitu C₂H₆O dan rumus kimia C₂H₅OH. Etanol merupakan keluarga alkohol. Dalam memberi nama sebuah gugus alkohol, biasanya akan diberi nama berdasar dari banyaknya atom karbon yang menyusun senyawa alkohol tersebut. Misalnya saja CH₄O atau CH₃OH akan diberikan nama Metanol, ini berasal dari kata “metil” dan alkohol, dimana metil akan merujuk ke gugus “CH₃”. Pada etanol, karena gugusnya CH₃-CH₂ yang disebut “etil”, maka disebutlah etil alkohol atau etanol. Sedangkan pada rantai gugus yang lebih panjang disebut propanol dengan tiga atom karbon, butanol dengan empat atom karbon, hingga triakontanol dengan 30 atom karbon. Sebenarnya itu hanya dari alkohol dengan rantai lurus saja, masih ada gugus alkohol sama yang berbeda pada letak posisi gugus metilnya, seperti iso-alkohol dan amil alkohol. Lalu alkohol digolongkan juga menjadi alkohol primer, sekunder, dan tersier.
Gambar-gambar dibawah ini menunjukkan jenis alkohol heksanol dimana jumlah dari atom karbon dalam gugusnya sebanyak enam buah.
Setelah sedikit “sekali” :) contoh dari alkohol diatas, maka mari kita dalami pembuatan alkohol, khususnya etil alkohol atau etanol. Dalam teknik proses (process engineering), dikenal tiga tingkatan bagi sebuah proses dikembangkan, tiga tingkatan itu yaitu skala laboratorium, skala “pilot”, dan paling terakhir yaitu skala industri. Pada skala laboratorium, beberapa aspek teknis masih dapat diabaikan. Pada skala inilah hampir seluruh metoda pembuatan bermula. Biasanya perlatan yang digunakan masih berupa perlatan kaca yang banyak digunakan oleh mahasiswa yang melakukan praktikum didalam laboratorium. Setelah proses didalam laboratorium didapatkan hasil dan metoda yang tepat serta sesuai, maka saatnya untuk naik tingkat ke skala “pilot” yang lebih besar lagi. Pada skala ini hampir 80% aspek teknis yang ada di industri mulai diterapkan. Sebagai contoh, penggunaan alat yang bukan lagi peralatan kaca seperti didalam laboratorium, tetapi mulai menggunakan logam yang mirip seperti pabrik industri. Pada skala ini, hambatan-hambatan dan perubahan-perubahan mulai lebih sering terjadi daripada pada skala laboratorium. Pada skala pilot ini juga kerap dilakukan perubahan yang cukup besar karena adanya hambatan pada proses utama hasil dari skala laboratorium. Pada saat skala “pilot” telah berhasil dan menunjukkan hasil yang memuaskan, maka proses ini akan masuk pada tingkat tertinggi, yaitu skala industri. Pada skala ini, hingga aspek yang paling kecil semua telah diperhatikan. Baik suhu, tekanan, aliran, dan kondisi-kondisi spesifik yang mempengaruhi sistem. Pada skala industri ini, biasanya perubahan terhadap sistem yang dilakukan sudah lebih sedikit karena perubahan-perubahan telah banyak dilakukan pada skala “pilot” . Dalam pembuatan proses produksi, skala yang paling lama ditempuh adalah skala “pilot”. Hal ini dikarenakan, pada skala pilot ini semua fenomena didalam sistem dipelajari dan dikendalikan, serta kemungkinan juga dilakukan perubahan. Perubahan yang dilakukan dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi final pada skala industri. Pada setiap skala yang sudah ditempuh, sebenarnya sangat mungkin untuk melakukan pengulangan pada skala yang lebih rendah agar perbaikan yang hendak disasar juga lebih tepat dan cepat tercapai.
Pada pembuatan etanol, sebenarnya banyak sekali metoda yang sudah dilakukan, baik secara laboratorium dan “pilot” . Pada kesempatan kali ini, agar lebih mudah, mari kita bahas cara pembuatan etanol skala industri saja. Hal ini karena pada skala industri, sudah lebih sedikit metoda yang diaplikasikan sehingga akan lebih mudah dalam melakukan pembahasan.
Pembuatan etanol pada skala industri saat ini banyak menggunakan metoda fermentasi. Pada proses fermentasi, maka dibutuhkan agen fermentasi yang biasa kita sebut dengan ragi atau yeast. Metoda dasarnya yaitu seperti saat kita melakukan fermentasi pada tape singkong atau yang banyak masyrakat Jawa Barat kenal dengan peuyeum atau pada pembuatan beer dan sake misalnya. Metoda dasarnya yaitu memberikan sumber karbohidrat kepada yeast sehingga terjadilah fermentasi.
Disamping proses fermentasi, sebenarnya masih ada proses dehidrasi menggunakan katalis pada gas etilena, tetapi metoda ini relatif jarang digunakan, dan yang lebih sering digunakan adalah metoda fermentasi. Salah satu alasan dari maraknya penggunaan fermentasi sebagai salah satu metoda yang paling familiar dikarenakan banyaknya sumber karbohidrat yang realtif murah sebagai bahan baku. Proses atau metoda fermentasi ini juga menyediakan proses yang lebih ramah lingkungan karena agen yang menjadi mesin penggeraknya adalah makhluk hidup yang relatif tidak berbahaya bagi lingkungan. Etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi ini biasanya disebut dengan bioetanol, penyebabnya karena penghasilnya adalah agen biologis yaitu yeast atau ragi.
Bahan baku utama pada pembuatan etanol biasanya sisa-sisa karbohidrat yang relatif tidak terpakai lagi. Maka dari itulah, teknologi etanol ini juga bisa digunakan sebagai metoda pemanfaatan sampah atau limbah organik. Limbah karbohidrat yang biasanya digunakan yaitu sisa panen tanaman jagung, molase atau sisa kristalisasi gula, serta sumber-sumber karbohidrat yang lainnya. Sumber karbohidrat ini akan mengalami proses fermentasi yang dimana proses ini akan merubah selulosa menjadi etanol melalui fermentasi oleh ragi. Ragi yang biasanya digunakan untuk melakukan operasi ini dari keluarga Saccharomyces sp. yang menghasilkan etanol dan karbon dioksida pada akhir metabolisme. Etanol inilah yang pada proses setelahnya dilakukan pemisahan agar didapatkan etanol dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Reaksi ini terjadi pada saat yeast atau ragi telah mengkonsumsi makanan yang diberikan berupa glukosa atau karbohidrat lalu melakukan metabolisme pada tubuh ragi. Pada akhir metabolisme akan dihasilkan etanol dan karbon dioksida.
Secara umum di negara kita Indonesia dan beberapa belahan dunia lainnya, proses pembuatan etanol meliputi beberapa proses utama :
1. Tahap persiapan bahan baku
2. Tahap sterilisasi
3. Tahap fermentasi
4. Tahap purifikasi, destilasi, dan dehidrasi
Tahap persiapan bahan baku
Pada tahap persiapan bahan baku ini, sumber bahan baku diproses sedemikian rupa sehingga dapat mulai masuk pada proses pembuatan. Disini biasanya diberikan perlakuan seperti penyeragaman ukuran, penyesuaian kadar air, pemberian pupuk, serta sterilisasi agar ragi tidak terganggu pada saat proses fermentasi. Tahap persiapan bahan baku ini sangat bergantung dari apa yang dijadikan bahan baku karbohidrat bagi ragi. Bahan baku yang banyak digunakan di Indonesia biasanya molase atau tetes tebu sisa kristalisasi gula tebu.
Molase ini masih memiliki kadar gula yang cukup tinggi tetapi sudah tidak lagi ekonomis untuk dilakukan kristalisasi pada crystalizer gula. Selain tidak ekonomis, tetes tebu atau molase ini juga akan mengotori gula pasir dan memberikan warna gelap atau coklat pada kristal gula pasir. Warna ini akan memberikan beban yang berlebihan pada proses bleaching apabila gula pasir ingin dibuat lebih putih dan bersih. Gula sisa inilah yang akan memberikan makanan bagi ragi untuk memproduksi etanol sebagai sisa metabolisme beserta gas CO₂. Molase ini sangat kental dan apabila langsung diberikan ragi malah akan membunuh ragi. Hal ini dikarenakan kurangnya air dan tingginya kadar gula. Akibatnya molase harus diencerkan atau ditambahkan air sejumlah tertentu agar ragi dapat pasokan air dan makanan yang sesuai dengan kondisi optimal ragi. Kadar gula yang sangat tinggi bukan baik bagi ragi, tetapi malah mematikan. Kadar gula yang optimal bagi ragi biasanya berkisar 14%. Kadar ini harus dijaga karena jika kadarnya sangat tinggi, kinerja ragi menjadi tidak lagi optimal dan dapat merugikan jalannya proses. Proses pemgeneran ini menggunakan air panas yang diatur pada suhu kurang lebih 70 ⁰C. Hal ini dilakukan agar molase dapat lebih mudah diaduk dan diencerkan dengan air. Pada saat molase sampai di suhu ruang, molase cenderung sangat kental dan karena ini juga molase jadi lebih sulit diaduk dan bercampur dengan air, maka dari itulah air ini diberikan pada suhu 70⁰C. Setelah tercampur dengan air, tahap selanjutnya adalah melakukan pemanasan sistem hingga 90⁰C. Hal ini dilakukan sebagai upaya sterilisasi larutan molase. Langkah lanjutan yang dikenakan pada larutan molase yaitu menambahkan senyawa asam sulfat atau H₂SO₄ dengan konsentrasi larutan yang tinggi. Penambahan H₂SO₄ dilakukan hingga didapatkan nilai pH sebesar 4.5–5. Pemberian H₂SO₄ ini juga bertujuan untuk memotong molekul sukrosa menjadi gula yang lebih sederhana seperti glukosa dan fruktosa. Lumpur kotoran yang terbentuk juga akan terendapkan karena keberadaan H₂SO₄ pada sistem. Selain bahan baku utama, pada tahap persiapan bahan baku ini, bahan-bahan yang digunakan pada saat proses fermentasi juga disiapkan. Bahan-bahan lainnya yang digunakan pada saat proses ini yaitu pupuk NPK dan Urea sebagai nutrisi tambahan pada sistem fermentor, yeast atau ragi juga disiapkan, anti buih sebagai bahan penghilang busa atau buih, dan kapur tohor atau zeolite sintetis diproses agar siap masuk pada unit selanjutnya.
Tahap Sterilisasi
Pada tahap ini, meski peralatan proses yang lewat relatif sedikit, tetapi proses ini akan menentukan sebaik apa alkohol akan terbentuk. Tahap ini akan memberikan kondisi hidup yang baik pada ragi karena akan mengurangi mikroba lain yang akan “berkompetisi” dengan ragi. Kompetisi ini akan mengakibatkan terbentuknya senyawa sampingan yang tentu saja merugikan. Mikroba lain ini bisa kita sebut dengan mikroba kontaminan, dapat kita hilangkan dengan cara melakukan pemanasan dengan suhu yang tinggi. Metoda yang digunakan mirip seperti pada saat kita melakukan pemanasan air mentah menjadi air matang. Prinsip dasar yang kita lakukan yaitu membunuh mikroba patogen dengan panas. Jika pada skala kecil, kita bisa panaskan langsung dengan api/panas secara langsung, tetapi pada skala industri umumnya akan digunakan uap air sebagai medium penghantar panasnya. Mengapa hal ini dilakukan, salah satu alasannya adalah keamanan. Jika pabrik atau plant yang menangani bahan-bahan mudah terbakar, seperti pabrik etanol ini, lalu pabrik minyak bumi dan gas alam, lalu pabrik bahan bahan kimia karbon yang mudah terbakar lainnya, kebanyakan akan menggunakan uap air sebagai media pemanasnya. Meski relatif aman, panas dari uap air ini dapat di-engineered hingga diatas 400⁰C, sehingga tetap memerlukan penanganan yang serius.
Tahap Pembiakan Ragi
Pada tahap ini, campuran antara bahan-bahan yang sebelumnya telah dicampurkan dan dilakukan sterilisasi, dicampurkan dengan ragi. Karena suhu campuran sebelumnya cukup panas dan dapat juga mematikan bagi ragi, dilakukan penurunan suhu campuran ke suhu ruang kembali, sekitar 28–30⁰C. Biasanya sebelum ragi dimasukkan dalam reaktor fermentasi atau biasa disebut dengan bioreactor ini, campuran larutan antara air,pupuk, dan molase(karbohidrat) dimasukkan dahulu kedalam reaktor yang lebih kecil dahulu agar ragi beradaptasi dengan kondisi dari campuran larutan yang akan dia fermentasi. Reaktor yang lebih kecil ini akan memberikan kondisi sesuai dengan larutan yang ada didalam reaktor besarnya, dari jenis karbohidratnya, adanya pupuk, pH, dan suhunya. Akibatnya pertumbuhan ragi sudah akan sesuai dengan keadaan sebenarnya didalam reaktor fermentasi. Didalam reaktor fermentasi ini, larutan akan didiamkan sekitar 24–36 jam. Lamanya waktu ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ragi, suhu, kadar ethanol, pH, serta hal-hal teknis yang sudah dijadikan acuan oleh pabrik. Kondisi penting itu akan secara terus menerus dijaga dan dipertahankan melalui serangkaian metoda pengendalian.
Pada proses pembuatan etanol secara khusus dan fermentasi secara umum, peralatan yang digunakan haruslah berbahan dasar baja stainless steel. Hal ini dimaksudkan agar bahan didalam reaktor tidak mudah mengkorosi dinding reaktor, dan mengatasi korosi terhadap dinding reaktor bagian luar. Karena ragi ini merupakan makhluk hidup, maka perlakuannya juga harus seperti kita memperlakukan makhluk hidup lainnya. Selama waktu menunggu, selain pengawasan terhadap kondisi didalam reaktor, tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan. Maka dari itu, agar pabrik dapat berjalan setiap detiknya, jumlah dari fermentor ini lebih dari satu unit. Dalam skala industri, pekerjaan dilakukan dengan standar per satuan waktu. Sebagai contohnya, alkohol per menit atau etanol per jam. Satuan yang biasanya digunakan adalah per jam. Maka, apabila menggunakan waktu fermentasi paling lama dari fermentasi alkohol yaitu 36 jam, pada proses ini dibutuhkan reaktor fermentasi sebanyak 36 buah. Pada akhir waktu fermentasi, kadar alkohol atau etanol yang dihasilkan biasanya sekitar 9–10% saja. Pada kadar ini, sebenarnya alkohol sudah mematikan bagi ragi. Pada saat kadar ini tercapai, etanol terproduksi sudah realtif tidak berubah dikarenakan ragi yang mulai masuk fase mendatar pada siklus hidupnya.
Pada tahap ini, dimasukkan juga sejumlah udara steril yang digunakan sebagai bahan untuk hidup dari ragi atau mikroba. Udara steril ini ditujukan agar tidak ada mikroba lain yang masuk kedalam reaktor fermentasi dan mengganggu ragi. Udara yang tidak bersih juga akan mengurangi kadar alkohol yang dihasilkan pada akhir proses. Salah satu hal menarik dari sistem fermentasi yaitu, pada saat ada mikroba lain, sangat mungkin dihasilkan senyawa lainnya dan bisa saja beracun bagi manusia. CO₂ hasil dari ragi juga dikeluarkan dari dalam reaktor fermentasi agar tidak meracuni ragi dan menghambat proses metabolisme etanol. Tidak lupa juga dilakukan pengadukan dan penambahan zat anti busa agar sistem berjalan lebih optimal lagi.
Tahap purifikasi, destilasi, dan dehidrasi
Inilah tahap terakhir dari produksi bioetanol, dimana pada tahap inilah bioetanol murni didapat dari campuran hasil fermentasi dari tahap sebelumnya. Peralatan yang terlibat pada tahap ini cukup banyak dan sedikit kompleks. Pada tahap awal bisa dilakukan penyaringan terlebih dahulu setelah dikeluarkan dari tangki fermentor agar apabila terdapat padatan-padatan tidak mengganggu pada tahap-tahap selanjutnya. Padatan ini dapat terbentuk pada saat proses fermentasi berlangsung. Setelah padatan-padatan ini dipisahkan dari campuran, maka larutan yang disebut dengan bir(beer) ini akan dimasukkan kedalam penukar panas seperti pada tahap sterilisasi. Pemanasan ini dilakukan dengan kondisi sekitar 77–80⁰C sebagai suhu uap atau titik didih dari senyawa etanol. Pada suhu ini, diharapkan etanol akan menguap sedangkan air tidak ikut menguap. Meski telah diatur demikian, air tetap saja masih ikut menguap dengan etanol. Setelah dipanaskan, bir bersuhu 77–80⁰C akan dimasukkan kedalam kolom distilasi. Pada kolom ini akan didapatkan etanol dan air dalam bentuk uap serta senyawa lainnya yang tidak bisa menguap pada dasar kolom. Uap etanol ini akan dikondensasikan dengan cara menurunkan suhunya hingga pada suhu ruangan sekitar 28–30⁰C.
Pada tahap distilasi ini kadar etanol pada bir yang sebelumnya hanya 9–10%, terpisah dan menguap sehingga pada sisa dari distilasi hanya terdapat kandungan sekitar 1–2% etanol sisa. Sebagian besar etanol akan berada pada “Top Product” seperti pada gambar diatas. Pada Top Product ini kadar etanolnya sudah sampai pada kadar 90–95% tergantung dari efektifitas alat pemisah distilasi. Semakin baik alat yang digunakan, dan semakin baik juga dalam pengendalian kondisi alat, hasil kadar etanolnya makin tinggi. Sebaik apapun alat distilasi ini dioperasikan, kadarnya tidak akan lebih dari angka 95–96%. Hal ini disebabkan oleh adanya peristiwa “Azeotrop” pada etanol. Supaya lebih jelas mengenai apa itu azeotrop, silahkan membaca tautan ini. Kondisi azeotrop ini tidak dapat diselesaikan pada kolom distilasi ini. Masalah azeotrop ini harus diselesaikan dengan cara lain, sehingga dibutuhkan yang namanya tahap dehidrasi.
Tahap dehidrasi ini dapat diadakan atau juga dapat ditiadakan. Alkohol etanol yang banyak dijual baik sebagai bahan desinfektan, pengenceran obat batuk, dan beberapa fungsi lainnya sudah cukup pada kadar 90–96% sehingga tidak perlu adanya tahap dehidrasi. Tahap dehidrasi ini diperlukan apabila dibutuhkan kadar etanol yang lebih tinggi lagi. Kolom dehidrasi ini dapat mengatasi masalah azeotrop yang mengganggu kemurnian etanol dan beberapa alkohol lainnya dengan cara menyerap kadar air yang masih tersisa. Jika dilihat dari luar, kolom dehidrasi secara fisik mirip dengan kolom distilasi tetapi dengan struktur internal yang berbeda. Jika pada kolom distilasi dilengkapi dengan pemanas dan kolom-kolom pemisah, sedangkan pada kolom dehidrasi, dilengkapi dengan kolom-kolom berisi zeolit dan bahan penjerap lainnya. Bagi pembaca yang belum tahu mengenai zeolit, mungkin akan lebih familiar digunakan sebagai pasir pada wadah kotoran kucing atau batu-batu akuarium. Meski begitu, pasir kucing dan akuarium ini merupakan zeolit alam, sedangkan pada industri alkohol, biasanya digunakan zeolit sintesis yang secara struktur kimia mirip dengan yang alam tetapi dengan serangkaian perbaikan dari segi penyerapan airnya. Meski begitu, beberapa mahasiswa yang meneliti pembuatan etanol masih ada yang menggunakan zeolit alam ini karena harganya yang relatif murah dan mudah didapat.
Pendekatan proses yang digunakan pada tahap dehidrasi ini ada dua. Pertama yaitu uap yang keluar dari kolom distilasi tidak dicairkan atau dikondensasi dahulu, tetapi langsung dikontakkan dengan kolom dehidrasi. Pada saat kontak inilah air yang ada pada uap akan langsung terikat oleh zeolit. Teknik yang kedua yaitu dikondensasikan dahulu, lalu setelah itu dimasukkan kedalam kolom dehidrasi, didiamkan agar air terperangkap barulah setelah itu dilakukan distilasi lagi. Setiap proses terdapat keuntungan dan kerugian masing-masing, sehingga para perancang dan pengusaha lah yang akan menentukan desain apa yang hendak dipilih. Jika sudah masuk tahapan dehidrasi ini, kadar etanol biasanya sudah berada pada angka 99,0% sampai 99,7%. Kadar etanol setinggi ini sangat rentan terhadap udara basah atau uap air, sehingga harus disimpan pada tangki yang sangat kedap udara. Pada kadar diatas 99,5%, etanol dapat dilakukan pencampuran dengan bahan bakar jenis bensin dimana etanol akan memperbaiki kualitas bensin dengan oktan rendah. Jenis bahan bakar ini dikategorikan dengan huruf “E” dan angka yang menyatakan berapa banyak kandungan etanolnya. Negara yang mengaplikasikan ini adalah Brazil dengan E5 dan E10.
Pada akhir proses, etanol disimpan pada tangki yang kedap udara dan kering sehingga kadar etanolnya tidak banyak berubah. Semakin tinggi kadar etanolnya, semakin rumit juga desain dari tangki penyimpanannya. Sebenarnya hasil akhir dari industri etanol bukan hanya etanol saja, tetapi didapatkan juga asam laktat dan beberapa senyawa lain hasil fermentasi yang dapat digunakan oleh industri lainnya.
Etanol yang biasa kita gunakan saat ini, sebelum dapat digunakan harus melewati berbagai tahap pengolahan yang cukup kompleks. Penjelasan diatas merupakan rangkuman singkat dari proses pembuatan etanol. Sebenarnya masih banyak yang harus dijelaskan jika ingin benar-benar memahami proses pembuatan ethanol. Hal-hal yang tidak dijelaskan diatas misalnya, kadar oksigen ragi, cara mengendalikan suhu, kecepatan pengadukan, pH optimal, suhu operasi distilasi dan dehidrasi, jenis kolom distilasi, mungkin bukan aspek penting bagi bacaan populer dan bukan artikel akademis yang mendalami pembuatan etanol.
Semoga ini bisa sedikit memberikan wawasan bagi pembaca, meski saya yakin masih banyak kekuarangan dalam penjelasan diatas. Selamat membaca penjelasan panjang diatas. ☺
Rahseto, 3rd June 2020
Source
researchgate.net/publication/277957681_Ethanol_Production_via_Direct_Hydration_of_Ethylene_A_review
Prasetyo, Ristu Adi; Imron, Saiful; Fiddin, M. Zakiy; Dwi, Jefri Fajar; Setiandi, Ari. 2012. Makalah Teknologi Bersih, Proses Produksi dan Teknologi Bersih Bioetanol di PT. Molindo Raya Industrial. Malang. Jurusan Keteknikan Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya.
http://blog.ub.ac.id/pakristu/2012/10/18/teknologi-bersih/